Thursday, August 22, 2013
Lo Khenghong: Perusahaan yang untung itu seperti mesin uang
Sukses
dan nama besar Warren Buffett di dunia investasi menuai kekaguman dari pemain
saham di penjuru dunia. Tak sedikit investor yang menjadikan Buffett
sebagai panutan, mempelajari strategi investasinya, dan menerapkannya. Di
Indonesia, salah satu yang terinspirasi oleh Buffet adalah Lo Kheng Hong.
Pria berusia 53 tahun ini berpegang pada metode
analisis fundamental Buffett. Ia tak bergeming dan tak pernah sekali pun
mencoba jurus investasi saham lain.
Bagi Lo, Buffett adalah gurunya. Ia hafal di luar
kepala banyak petuah Buffett, kisah hidup sang maestro, bahkan menghormati
prinsip hidupnya. Rupanya tak sia-sia Lo membaca puluhan buku ‘ajaran’ Buffett,
ia menarik pelajaran dari situ dan hasilnya? Lo telah memetik keuntungan besar
dari bursa saham. Keuntungannya dari saham berlipat ribuan persen.
Nafkah hidupnya pun hanya berasal dari saham. Ia
mengaku tak punya usaha atau pekerjaan apapun selain berinvestasi saham. Tak
heran, pelaku bursa banyak menjuluki ayah dua orang anak ini sebagai Warren
Buffett-nya Indonesia.
Simak kisah, pandangan hidup, dan strategi
investasi Lo dari pengakuannya sendiri kepada KONTAN berikut.
Saya ini hanya seorang investor, 100%
uang saya taruh di saham.
Jadi saya tidak bekerja dan saya tak punya
kantor. Saya hanya punya satu sopir
untuk mengantar-antar saya dan dua pembantu di rumah. Saya bangga jadi investor
saham. Kalau mengisi formulir, misalnya di bank pun, saya selalu tulis profesi
saya investor saham.
Saya
ini sudah berinvestasi saham selama 23 tahun. Tentu saja tidak semua investasi
saya berhasil, saya pernah jatuh. Saya juga tidak langsung pintar.
Semakin
lama orang bermain saham, dia bisa belajar dari kesalahannya dan akan semakin
terlatih. Saya percaya, orang yang berhasil itu adalah orang yang jatuh
tapi bangun lagi.
Pertama kali saya membeli saham tahun 1989.
Berapa modal awal saya? Nol. Waktu itu saya masih karyawan Bank Ekonomi, jadi
saya hanya menyisihkan sedikit demi sedikit dari gaji saya. Kalau orang lain
membelanjakan penghasilannya untuk macam-macam, saya belanjakan sebagian gaji
setiap bulan untuk membeli saham.
Saya ingat, di awal saya invest, saya
mengantre untuk membeli saham penawaran perdana (IPO) PT Gajah Surya
Multifinance. Antrenya panjang sekali. Saya semangat membeli, eh nggak tahunya
begitu listing saham itu jeblok. Hahaha...
Tapi saya tetap yakin dan terus berinvestasi
sampai akhirnya pendapatan dari saham bisa menghidupi saya. Ketika saya sudah
merasa cukup, pada tahun 1996, saya berhenti dari Bank Ekonomi pada saat saya
sudah jadi Kepala Cabang.
Ada
empat alasan kenapa saya memilih menjadi investor saham.
Pertama, investor saham bisa menjadi orang
terkaya di dunia. Contohnya? Ya, Warren Buffett. Saya belajar dari dia. Selama
10 tahun terakhir ini, saya sudah baca 40-an buku tentang Buffet. Buku itu tak
hanya saya baca sekali, tapi saya ulangi dua tiga kali, benar-benar saya pahami
isinya.
Kedua, keuntungan perusahaan itu hak si pemegang
saham. Bayangkan, yang bekerja direksi dan karyawan, tapi begitu untung yang
menerima pemegang saham. Enak kan?
Membeli perusahaan yang untung besar itu seperti membeli mesin pencetak uang.
Ketiga, dalam jangka panjang imbal hasil saham
lebih tinggi dari instrumen investasi lainnya, seperti obligasi, emas, dan
properti.
Keempat, jadi investor itu waktu luangnya banyak.
Anda tahu, di dunia ini ada empat
macam manusia. Tipe pertama, orang yang punya banyak waktu tapi tidak
punya uang. Contohnya, orang pengangguran.
Tipe
kedua, yang punya banyak uang tapi tidak punya waktu. Yang ini biasanya
para pengusaha. Lalu tiga, orang yang tidak punya waktu dan tidak punya banyak
uang juga. Ini kebanyakan para pegawai yang bergaji kecil.
Tipe
terakhir, orang yang punya waktu dan punya uang. Tipe terakhir inilah
yang saya inginkan sebagai investor saham. Orang bilang, time is money.
Buat saya tidak, waktu lebih berarti dari uang. Uang bisa dicari, tapi uang
tidak bisa mengembalikan waktu.
Sekarang saya merasa punya banyak waktu. Saya bisa travelling menjelajahi
berbagai kota di lima benua. Sekali saya pergi, tidak sebentar lho, saya
bisa tinggal sampai sebulan di sana.
Tapi saya juga memanfaatkan waktu saya untuk
membaca. Setiap pagi, bangun, lalu saya pergi ke taman, duduk membaca dan
berpikir. Itu hobi saya. Laporan keuangan itu makanan sehari-hari. Saya juga
berlangganan empat koran, tiga di antaranya koran bisnis termasuk KONTAN.
Semuanya saya baca dari halaman satu sampai habis.
Sering saya baru mandi jam satu, kemudian keluar,
kadang pergi ke sekuritas. Saya ini manusia gaptek. Saya tidak punya laptop,
tidak mengerti apa itu email atau internet apalagi online trading. Jadi saya
membeli saham selalu lewat telepon kepada beberapa sekuritas. Saya tidak takut
kehilangan momentum meskipun membeli lewat telepon, kan saya bermain saham untuk jangka panjang.
Dalam berinvestasi, saya berusaha membeli
perusahaan yang bagus di harga murah dan saya simpan.
Saya punya lima
kriteria untuk membeli perusahaan publik.
Pertama (1),
lihat manajemennya apakah dikelola orang yang jujur, profesional,
berintegritas, dan saya kagumi. Jarang sekali orang membeli saham dengan
melihat ini, biasanya orang hanya lihat laporan keuangan. Tapi bagi saya, kalau
dalam properti itu ada istilah lokasi, lokasi, lokasi, dalam ekuiti itu harus
manajemen, manajemen, manajemen.
Kedua (2),
perhatikan usahanya. Di masa depan akan seperti apa bisnis itu? Memang, hari esok itu misteri. Tapi saya sendiri
berpendapat, masa depan itu ditentukan juga dari masa lalu. Bagi perusahaan
yang sudah memenuhi syarat pertama tadi, kita bisa lihat masa lalunya dalam
jangka panjang misalnya 5-10 tahun ke belakang. Kalau itu untung, kemungkinan
ke depan juga akan untung.
Ketiga
(3), cari perusahaan yang labanya
besar. Hitung berapa besar profit margin-nya dan return on equity atau ROE-nya (tingkat
pengembalian modal: rasio laba bersih terhadap total modal).
Keempat (4),
pilih perusahaan yang terus bertumbuh dalam jangka panjang.
Kelima (5),
cermati valuasi dari PER (price earning ratio) atau PBV (price
to book value), bandingkan dengan kompetitornya. Belilah yang murah.
Kesempatan emas untuk membeli saham bagus dengan harga murah tentu saja di
tengah kondisi krisis. Saya selalu ikuti prinsip Buffet, be greedy when the
others are fearful.
Dengan lima prinsip sederhana itu nyatanya saya
berhasil.
Pada tahun 2005, saya membeli saham PT
Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI). Waktu itu harga perusahaan ternak
ayam terbesar kedua di Indonesia
ini baru Rp 250 per saham. Saya kumpulkan pelan-pelan sahamnya sampai akhirnya
punya 8,29% saham. Tahun lalu, harga sahamnya sudah mencapai Rp 31.500, jadi
naik 12.600%. Keuntungan itu saya realisasikan. Saham itu saya jual karena dia
akan merger dengan PT Japfa Comfeed Tbk (JPFA).
Saya juga pernah punya saham PT
Timah Tbk (TINS). Saya beli di tahun 2002 seharga Rp 285. Dalam dua tahun
harganya naik ke Rp 2.900. Saya jual, tapi setelah saya lepas, dia terbang
lebih tinggi lagi. Waktu itu ilmu memang belum tinggi. Begitu harga saham naik
banyak, saya gemetar.
Menyesalkah saya? Begini, kalau investor saham
tidak bijak, maka seluruh hidupnya akan berisi penyesalan. Jual sekarang, besok
harga lebih tinggi lagi. Tahan, enggak tahunya harga turun terus.
Selain dua saham itu, saya pernah mendapat
keuntungan cukup besar dari PT
United Tractors Tbk (UNTR), PT Gadjah
Tunggal Tbk (GJTL), PT Charoen Pokphan Tbk (CPIN), PT
Polychem Indonesia Tbk (ADMG), PT Japfa
Comfeed Tbk (JPFA), PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).
Sekarang, portofolio saya berisi sekitar 20-an
saham dengan jumlah saham maksimal 4%. Tidak banyak kelihatannya, tapi
rata-rata perusahaan besar. Saya juga merotasinya. Kalau ketemu satu perusahaan
bagus, maka saya cari mana di portofolio yang sudah menurun dan saya buang satu
juga.
Saya juga pernah rugi.
Saya pernah rugi karena margin. Makanya sejak
tahun 1998 saya enggak pernah memakai fasilitas margin lagi.
Saya sekarang bebas utang. Pernah dengar kisah
Jesse Livermore? Dia salah satu
investor yang sangat sukses di jaman dulu. Dari tukang tulis papan bursa dia
investasi saham dan jadi investor besar. Tapi dia berutang dan akhirnya ketika
investasinya gagal, dia bunuh diri.
Saya
tidak mau seperti itu. Kalau tidak punya utang, meskipun saham saya hancur,
saya tidak apa-apa. Saya masih punya saham itu yang ke depan juga bisa naik
lagi.
Karena
itu, meskipun harga saham jatuh dan uang saya tinggal 15%, saya tetap membeli
saham. Tentu saja istri tidak tahu...ha ha ha. Saya membeli saham United
Tractors (UNTR), saham bagus yang harganya sudah murah sekali. Waktu itu pernah
jatuh sampai Rp 125, tapi saya baru masuk di Rp 250. Padahal, laba operasi per
sahamnya sudah 7.800.
Saya belikan semua sisa uang saya untuk satu
saham itu. Dan benar, UNTR naik terus. Pada tahun 2004, saya akhirnya jual.
Waktu itu harga UNTR Rp 1.350, tapi ini harga sesudah stock split. Kalau
dihitung itu kira-kira setara Rp 15.000, jadi saya untung sekitar 6.000%.
Saya ini tidak sama dengan investor saham
umumnya.
Saya tidak suka mengejar dividen. Menurut saya,
lebih baik saya investasi pada perusahaan yang menggunakan devidennya sebagai
modal kerja. Itu akan lebih memberi saya keuntungan.
Saya juga tidak mengejar saham-saham IPO. Dari
pengalaman, kalau kita beli saham IPO, ketika sahamnya naik ternyata kita cuma
dikasih beberapa lot saja. Tapi kalau jeblok, seringnya kita pesan berapa pun
dikasih.
Saat ini, saya melihat IHSG bagus, sudah di atas 4.000 di kondisi krisis seperti ini.
Tapi bukan berarti semuanya mahal. Makanya
investor harus melakukan pekerjaan rumahnya, risetlah mana yang masih murah.
Saya sendiri sekarang memiliki saham di sektor perbankan, consumer goods,
peternakan, sawit, bahkan batubara.
Sejauh ini, saya masih bermain saham di bursa
dalam negeri. Tapi bulan depan saya rencananya akan pergi ke Yunani. Saya akan
mendalami bursa di sana,
pasti banyak saham bagus yang harganya murah. Ini kesempatan.
Terakhir, saran saya bagi investor
sekarang: kerjakan PR.
Berapa banyak dari investor yang masih baca laporan keuangan? Berapa yang melakukan analisis
fundamental? Membeli saham perusahaan tanpa melihat lima hal dasar yang saya sebut tadi itu dan
hanya melihat chart menurut saya tidak benar, keliru, dan menyesatkan. Investor
harus tahu apa yang dia beli.
Main saham itu juga bukan perkara hoki. Tuhan itu
maha pengampun, tapi bursa saham tidak punya belas kasihan pada orang yang
tidak tahu apa yang dia beli.
Source:
http://lipsus.kontan.co.id/v2/warren_buffett/read/59/Lo-Khenghong-Perusahaan-yang-untung-itu-seperti-mesin-uang