Thursday, November 28, 2013

Tidak Perlu Lebih Ketat Lagi


JAKARTA, Investor Daily 1 September 2008. Kenaikan harga pangan dan harga bahan bakar minyak (BBM) telah membuat laju inflasi tahunan naik di atas 10%. Untuk mengendalikan inflasi, BI telah menaikkan suku bunga. Perlukah kebijakan moneter diperketat lagi?

Inflasi tahunan Juli mencapai 11,9%. Walaupun banyak analis memperkirakan inflasi cenderung menurun pada Agustus 2008, laju inflasi masih berada di atas 10%. Danareksa Resarch Institute memperkirakan, inflasi tahunan pada Agustus menurun sedikit ke level 11,52%.

Namun, angka inflasi tahunan tampaknya sulit untuk turun lagi dalam waktu dekat. Kenaikan harga elpiji beberapa waktu lalu, ditambah dengan bulan puasa yang dimulai awal September ini, cenderung mendorong terjadinya kenaikan harga ke tingkat lebih tinggi lagi.
Pada bulan puasa dan Lebaran biasanya harga-harga cenderung naik. Walaupun hal ini bersifat musiman dan tidak akan mengubah angka inflasi tahunan terlalu signifikan ke atas, keadaan ini tetap saja mengkhawatirkan otoritas moneter kita.

Kebijakan Moneter Ketat?
Untuk mengendalikan laju inflasi, Bank Indonesia (BI) sudah mulai menaikkan suku bunga sejak Mei lalu. Sampai Agustus 2008, BI rate sudah dinaikkan menjadi 9%. Pernyataan beberapa pejabat BI mengindikasikan  bahwa BI rate masih berpeluang untuk dinaikkan lagi.

Kenaikan BI rate memang memberi kesan bahwa BI telah mengetatkan kebijakan moneternya. Namun, bila dilihat dari turunnya oustanding Sertifikat Bank Indonesia (SBI), BI justru malah memompa uang ke sistem finansial kita. Turunnya jumlah outstanding SBI menunjukkan bahwa SBI yang tadinya dipegang oleh perbankan atau investor berkurang jumlahnya. Sebagai gantinya, mereka akan menerima dana sebesar penurunan outstanding SBI tersebut.

Sampai Juni 2008, jumlah outstanding SBI sudah turun ke Rp 158 trilun, dari angka awal tahun ini pada kisaran Rp 272 triliun. Angka total Open Market Operation (yang mencakup SBI, Fasilitas simpanan BI (Fasbi), dan instrumen lainnya) yang biasa disebut OMO pun menunjukkan penurunan dari Rp 281 triliun pada Desember 2007 menjadi Rp 191 triliun pada Juni 2008. Artinya, BI justru menginjeksikan uang ke sistem finansial kita melalui OMO sekitar Rp 90 triliun dalam enam bulan pertama tahun ini. Sementara itu, penyerapan dengan instrumen lain (seperti meningkatkan giro wajib minimum) tampaknya belum dilakukan secara signifikan.

Milton Friedman, ekonom ahli moneter kenamaan dari AS, mengatakan, untuk   melihat kebijakan moneter ketat atau tidak, kita harus melihat dari laju pertumbuhan uang beredar, bukan dari tingkat suku bunga. Mengetatkan kebijakan moneter dilakukan dengan mengurangi jumlah uang beredar dalam sistem finansial. Yang dilakukan BI justru  sebaliknya, menambah uang ke dalam sistem.

Kemana Larinya Dana?
Saat ini, likuiditas di perbankan kita justru tampak semakin ketat. Hal ini terlihat, antara lain, dari adanya bank yang memberikan suku bunga deposito jauh di atas suku bunga BI rate dan suku bunga penjaminan. Ada juga bank yang memperlambat pencairan dana pinjaman, bahkan ada juga yang menegosiasi ulang rencana kredit yang sebelumnya sudah diberikan kepada nasabahnya. Kalau begitu, kemana larinya uang yang telah diinjeksikan oleh BI ke sistem finansial kita?

Sebagian orang berpendapat, keketatan likuiditas yang terjadi disebabkan cepatnya pertumbuhan kredit. Sebenarnya, pengusaha yang mencairkan kreditnya akan menyimpan sebagian uangnya di bank, sebagian lagi dibayarkan kepada pemasok atau kontraktor yang mengerjakan proyeknya. Pemasok dan kontraktor itu juga akan menyimpan uangnya di bank komersial. Dengan kata lain, jumlah uang di sistem finansial kita secara keseluruhan seharusnya tidak berkurang terlalu signifikan.

Salah satu penyebab yang mungkin menyedot likuiditas dari sistem finansial kita adalah rekening pemerintah di BI. Bila diasumsikan uang pemerintah benar-benar berada di BI, uang pemerintah tidak dapat dimanfaatkan oleh sistem perbankan kita.

Tahun ini, rekening pemerintah di BI memang menunjukkan perkembangan lain. Biasanya, pada awal tahun rekening pemerintah rendah, setelah itu mulai beranjak naik perlahan seiring masuknya pendapatan dari pajak maupun pendapatan pemerintah lainnya. Namun, pada  April, pertumbuhan dana di dalam rekening pemerintah sudah mulai mengecil, seiring dengan mulai berjalannya program-program belanja maupun investasi pemerintah. Pada periode April-November 2007, misalnya, rekening pemerintah di BI relatif stabil pada kisaran Rp 80 triliun.

Namun, pada 2008, jumlah dana di rekening pemerintah di BI jauh lebih tinggi dari biasanya. Pada April-Juni 2008, jumlah rekening pemerintah di BI sekitar Rp 140 triliun. Pada minggu ketiga  Juni,  jumlah ini bahkan meningkat ke Rp 170 triliun  (gambar 2). Angka ini lebih besar sekitar Rp 90 triliun dari level rata-rata bulan sama tahun 2007.

Jadi, boleh dikatakan secara kasar bahwa sebagian besar uang yang diinjeksikan oleh BI ke sistem finansial kita (melalui penurunan jumlah total OMO) diserap oleh pemerintah, yang kemudian menyimpannya kembali di BI. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, kebutuhan uang untuk transaksi juga semakin meningkat. Minimnya net suplai uang baru ke sistem perekonomian membuat keadaan likuiditas di sistem finansial kita menjadi ketat. 

Dengan kata lain, pemerintah yang biasanya justru lebih suka kebijakan moneter lebih longgar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, secara tidak sengaja telah membantu BI menciptakan keadaan likuiditas lebih ketat.

Keadaan ini diperburuk lagi oleh kenaikan overnight rate yang amat signifikan. Dalam periode Desember 2007 – Juli 2008, overnight rate rata-rata sudah naik sebesar 5%. Ini berkaitan dengan kebijakan baru BI untuk menyamakan overnight rate dengan BI rate. Bila dianalogikan dengan sistem moneter di AS, perubahan kebijakan ini sama dengan jika The Fed menaikkan Fed Funds rate sebesar 5% dalam waktu tujuh bulan. Dampak kebijakan yang seperti ini terhadap likuiditas di sistem finansial tentulah amat signifikan.
Naiknya dana rekening pemerintah di BI tidak lepas dari lemahnya daya serap APBN kita. Hal ini, antara lain, disebabkan belum berjalannya proyek-proyek pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya. Keadaan ini terlihat juga dari pertumbuhan belanja pemerintah di angka PDB triwulan kedua tahun ini, yang hanya tumbuh dengan laju 2,2%.

Pemerintah dan BI tampaknya belum menyadari keadaan ini. Dalam usahanya untuk menyerap likuiditas dari masyarakat,  BI tampak masih agresif. Hal ini terlihat dari seringnya BI akhir-akhir ini menerima penawaran SBI dengan bunga jauh di atas target BI rate. Tampaknya, BI memang ingin menyerap uang lebih banyak dari sistem, tanpa menyadari bahwa likuiditas di sistem finansial sudah berkurang karena dananya diserap oleh pemerintah.

Pemerintah tampak agak bingung ketika mendapat sedikit hambatan menjual obligasi Sukuk maupun ORI005 akhir-akhir ini. Padahal, penyebab utamanya adalah ketatnya likuiditas di sistem finansial kita karena adanya dana yang amat besar milik pemerintah yang nganggur di BI.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa pada saat ini ada indikasi keadaan likuiditas di sistem finansial kita sudah agak terlalu ketat. Bila pemerintah tidak dapat memecahkan masalah pencairan dana pembangunannya dalam waktu dekat ini, pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut dapat menciptakan kekeringan likuiditas yang berlebihan, yang berisiko membunuh pertumbuhan ekonomi. Otoritas moneter perlu mewaspadai kemungkinan ini.